Liputan6.com, Jakarta - Ketika YouTube menjadi populer, punya banyak kanal, dan melahirkan sejumlah YouTuber yang merambah layar kaca, situs berbagi video ini dianggap musuh besar televisi. Inilah tema besar film Pretty Boys, karya perdana Tompi.
Ide cerita Tompi dikembangkan Imam Darto dengan pendekatan keluarga, dilapisi belasan momen jenaka, dan tetap berakar pada isu senjakala media konvensional. Jadilah Pretty Boys kuda hitam film lokal tahun ini. Pretty Boys menghibur? Pastilah. Namun apakah Pretty Boys sudah sesuai harapan?
Tema besar romantika program layar kaca dihadirkan Pretty Boys dengan akar drama keluarga. Adalah Jono (Roy) anggota militer yang mengutamakan tugas negara. Di era pergantian orde baru ke reformasi, Jono nyaris tak punya waktu untuk keluarga.
Ia ditinggalkan istri sementara anaknya, Anugerah (Vincent) tumbuh menjadi remaja kurang kasih sayang. Satu-satunya orang dekat Anugerah adalah Rahmat (Desta), yatim piatu yang tinggal di masjid dan hidup dari santunan warga kampung. Bosan hidup sudah, keduanya ke Jakarta.
Di Ibu Kota, Anugerah dan Rahmat jadi penonton bayaran program Kembang Gula. Ndilalah, presenter Kembang Gula hengkang karena honor tidak naik. Anugerah dan Rahmat yang baru jadi co-host kini jadi tuan rumah Kembang Gula. Di tangan mereka, rating dan share Kembang Gula meroket.
Dimanajeri Roni (Onadio), keduanya jadi anak emas produser Kembang Gula, Bayu (Imam). Rahmat lupa daratan, ia sering berganti cewek meski sudah punya Asty (Danilla). Popularitas ada harganya. Persahabatan Anuerah dan Rahmat dipertaruhkan.
Naskah yang Detail
Daya tarik Pretty Boys terletak pada hasil pengembangan cerita menjadi naskah yang detail. Imam (penulis sekaligus pemain) meletakkan fondasi mengapa tokoh utama harus pergi dari kampung hingga berkenalan dengan ingar bingar industri televisi.
Mungkin, kita tak paham secara utuh mengapa kedua orang tua Anugerah pisah. Benarkah murni faktor pekerjaan atau ada percik konflik lain yang tak terjelaskan? Namun lubang kecil ini ditebus detail di balik pertunjukan layar kaca. Sentilan Imam lewat sejumlah dialog terasa spontan.
Mulai potongan bayaran 50 ribu rupiah, hadiah kuis yang baru cair 3 bulan lagi, hingga gunjingan soal rating di ruang rias. Di tengah jalan, Imam Darto dan Tompi merentangkan Pretty Boys menjadi kisah yang letur. Dari romantika acara layar kaca menjadi protret sosial dan bianglala Ibu Kota. Kita melihat para waria di trotoar, istri yang menerima fakta suaminya hidup di “dua alam”, manajer yang diperbudak gaya hidup, dan betapa status sosial bisa berubah dalam hitungan menit.
Imam dan Tompi menyentil dengan genit fenomena hijrah dari soal musik haram hingga boleh menikahi beberapa. Dengan meminjam mulut aktor cilik, lagi-lagi ini terdengar polos dan spontan. Tentu, Tompi harus berkompromi bahwa cerita layar lebar tanpa cinta akan dianggap kesalahan besar. Kisah cinta segitiga di Pretty Boys memang agak menjemukan. Namun, penting untuk melihat seberapa erat pertalian kedua karakter utama. Asty umpan sekaligus materi penguji yang diluar dugaan dilahap dengan cekatan oleh Vincent dan Desta.
Sinematografi yang Matang
Anda juga harus terbiasa dengan kosakata bebancian yang bertebaran di sepanjang film dari duta (duit), turki (turun), tinta (tidak), dan masih banyak lagi. Tak perlu dihapalkan dan diamalkan, karena bisa jadi citra Anda di depan orang lain berubah, ha ha ha! Cukup dimengerti. Kekuatan lain film ini datang dari konsep sinematografi dan pewarnaan adegan yang kentara sekali disiapkan secara matang. Kuning, cokelat, oranye, dan warna serumpun tampak menjadi benang merah pertunjukan.
Di luar chemistry Desta dan Vincent, hal lain yang patut diapresiasi performa Roy Marten. Dengan latar belakang karakter yang redup, ia tampil konsisten menjadi ayah dengan bahasa kasih yang sulit diucapkan. Menarik melihat interaksi Roy dan Vincent yang berjarak namun kita tahu sama tahu ada cinta yang kuat di mata mereka. Naskah Imam Darto dieksekusi dengan rapi oleh Tompi. Sebagai debut, Pretty Boys amat layak ditempatkan di bawah sorot lampu.
Naskah sebagai nyawa sekaligus tulang punggung dirancang Darto dengan saksama bahkan dari detail pemilihan nama tokoh utama. Pretty Boys yang genit dan blakblakan bertumpu pada dua anak. Setiap anak adalah rahmat atau anugerah bagi orang tua.
Kalau kemudian Anugerah dipanggil Anu, bisa jadi untuk menyentil beberapa orang yang pikirannya tak jauh-jauh dari anu. “Tempatnya beda, geser sedikit, tapi rasanya sama,” celetuk seorang laki-laki berbaju perempuan kepada Anu, maksudnya Anugerah.
Wajah Masyarakat Kita
Kita tertawa menyaksikan tingkah laku beberapa tokoh di film ini dari adegan tebak-tebakan hingga jambak-jambakan. Dari bahasa yang digunakan hingga reaksi lawan bicara. Sejatinya, ini wajah masyarakat kita.
Saat menertawakan polah sejumlah tokoh Pretty Boys pada hakikatnya kita sedang menertawakan diri sendiri. Kita melihat wajah di cermin lalu terbahak. Setelah itu, apa yang harus kita lakukan. Jawabannya ada di nurani Anda.
Satu lagi, Pretty Boys menyajikan deretan fakta dan persoalan tanpa memuat jawaban pasti atau pernyataan sikap. Jawaban yang mungkin muncul di benak Anda bisa jadi sama dengan sejumlah bintang tamu Kembang Gula, pemirsa televisi, atau yang sedang mangkal di pinggir jalan. (Wayan Diananto)
No comments:
Post a Comment